Mengurai Ikatan Keluarga dan Terorisme di Probolinggo
Mengurai Ikatan Keluarga dan Terorisme di Probolinggo
MEI 2018, Densus 88 melakukan serangkaian penangkapan terduga teroris di Kota dan Kabupaten Probolinggo, Jatim. Yaitu di Perumahan Sumbertaman, Kota Probolinggo; Leces, dan Maron, Kabupaten Probolinggo.

Para terduga yang ditangkap ini, ternyata terhubung dalam satu keluarga. Ada yang orang tua anak, ada yang kakak dan adik, ada juga yang terhubung pertemanan.

Orang tua dan anak teroris di Probolinggo, diketahui sama-sama bertatus ASN. Bedanya, jika sang anak masih aktif, sang ayah merupakan pensiunan abdi negara, yang tergabung dalam jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Sementara kakak beradik yang terlibat terorisme di Probolinggo, diketahui pernah mengikuti pelatihan militer lapangan. Sang adik diketahui kagum pada sang kakak, sehingga mengikuti jejaknya.

Fenomena tersebut menjadi latar belakang dan bahasan dalam Buku "Melindungi Keluarga dari Ancaman Terorisme" yang ditulis Arini Indah Nihayaty, mahasiswa program doktoral FISIP Unair Surabaya.

Buku setebal 133 halaman terbitan CV. Murta Media Karya itu, dibedah dalam Webinar dan Book Review secara daring, Sabtu (2/10/2021) siang.

Webinar diselenggarakan LTN NU Kabupaten Probolinggo bersama Media Karya, nuprobolinggo.or.id, kitabaca.id, dan nunmedia.id.

Webinar menghadirkan penulis buku Arini Indah Nihayaty, Wakil Ketua PCNU Kabupaten Probolinggo Kiai Teguh Mahameru Zainul Hasan, dan Pengasuh Ponpes Ulul Albab KH. Muhammad Ramly Syahir.

Arini yang juga pendamping mantan narapidana teroris dalam kegiatan yang diselenggarakan BNPT tahun 2020 ini menyebut, fenomena di Probolinggo ini terbilang unik. Ia berbeda dengan daerah lain yang ia teliti seperti Surabaya dan Sidoarjo.

"Ikatan keluarga hanya terjadi di Probolinggo," ungkap perempuan yang juga ASN pada Kanwil Kemenag Jatim itu dalam webinar.

Petugas Lapas Kelas I Porong Bambang, yang mengikuti webinar menyebutkan, tiga narapidana yang ditangkap Mei 2018 itu, bebas bersyarat akhir pekan ini. Masing-masing akan pulang ke Maron dan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo.

KH. Ramly Syahir mengatakan, terorisme tak ubahnya virus yang bisa masuk ke mana saja. Tak terkecuali ke elemen terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Seperti yang terjadi di Probolinggo.

Alumni Bahdad ini menyebut ada empat tahap pemicu seseorang menjadi teroris. Pertama, mengangap orang atau kelompok lain di luar dirinya dianggap bid'ah.

Kemudian suka mengkafirkan kelompok lain yang tidak sejalan, sehingga darahnya dianggap halal.

Ketiga, menganggap pihak lain sebagai taghut. Dan yang terakhir, melakukan aksi teror yang mereka anggap sebagai jihad.

Kiai Teguh menyampaikan, aksi teror bermula dari pemahaman beragama yang radikal. Tak hanya dalam Islam, radikalisme juga terjadi pada pemeluk agama lain.

Semua pembicara sepakat, keluarga memiliki peran penting dalam menangkal radikalisme. Sebaliknya, ia juga menjadi pemicu reproduksi paham radikal dan melahirkan teroris.

Dalam konteks ini, Arini melalui bukunya menawarkan konsep ketahanan keluarga. Ia merupakan pondasi dan pilar utama dalam mematikan bibit radikalisme sejak dini.

Peran serta keluarga dalam pendidikan dimulai dari pola asuh orang tua, pendidikan agama dalam keluarga, pemilihan sekolah dan lingkungan, merupakan aspek penting untuk mengidentifikasi radikalisme. (*)