nuprobolinggo.or.id- SELASA 5 Dzulhijjah, tiga tahun yang lalu, Ulama' yang wali itu dijemput oleh Sang Khaliq.
Orang alim sekaliber Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, sudah boleh dikata derajat kewalian pasti melekat padanya. Imam Nawawi dalam kitab "At-Tibyan"nya mengutip dawuh dua Imam Agung, Abu Hanifah dan Asy-Syafi'i:
قال الإمامان الجليلان أبو حنيفة والشافعي رحمهما الله: "إن لم يكن العلماء هم أولياء الله فليس لله ولي"
"Jika ulama' bukan para wali Allah, sudah pasti Allah tidak punya seorang Wali."
Mbah Moen memiliki banyak kelebihan. Beliau bukan cuma sosok orang alim yang sangat mumpuni. Bukan cuma tokoh kharismatik yang disegani, tetapi beliau masih keturunan Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Beliau lahir pada tanggal 28 Oktober 1928, dua tahun setelah lahirnya NU.
Terkait dengan organisasi yang didirikan oleh para Ulama' ini, beliau dawuh: "Aku sa'lawase NU (saya selamanya NU)."
Hayatul Makki, biasa orang-orang memanggilnya dengan Gus Hayat, sekarang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Alif Baa Tanbihul Ghofilin Mantrianom, Bawang, Banjarnegara itu sempat mengaku tidak percaya dengan kewalian Mbah Moen.
Pada suatu hari dia akan sowan Mbah Moen. Dalam hatinya ngrenteg: "Nek bener-bener Mbah Moen itu wali, maka nanti saya akan makan dengan nasi tumpeng berikut beraneka ragam lauknya yang disuguhi Si Mbah, tapi masa ada di ndalem nasi tumpeng itu?," gumamnya dalam hati.
"Sopo iku?" Tanya Mbah Moen setelah Makki berada di depan beliau.
"Dalem Hayat Makki Mbah, Mantrianom Banjarnegara," jawab Gus Hayat.
"Oh mlebu kene, mangan sik," tanpa mau menerima uluran tangan Makki dan justru Mbah Moen langsung menyuruh Makki masuk ke ruang dalam yang biasa untuk menyuguh para tetamu si Mbah.
Mbah Maimoen memang mengenal sejak lama dan bersahabat dengan ayah Gus Hayat.
Di ruangan dalam ternyata ada ibu Nyai yang memang sudah mengenal Hayat Makki, dan mempersilakan Makki untuk makan.
Ajaibnya, nasi tumpeng berikut lauknya sama persis seperti apa yang dikrentegkan sesaat tadi sebelum Makki sowan, setengah tak percaya.
Mulai detik itu juga Gus Hayat percaya bahwa Mbah Moen bukan orang sembarangan. Benar benar wali. Ngerti sejeroning winarah.
Kemudian Makki pamitan, namun ternyata Mbah Moen tidak kerso disalami sembari seperti memasang muka "rada marah" terhadap 'kelakuan' Hayat Makki siang itu.
Pulanglah Hayat Makki ke rumahnya dengan menyisakan tanda tanya, kenapa Mbah Moen seperti marah sama saya.
Dan dia berjanji akan menjadi "santri kinasihan," dengan siap segalanya jika ada dawuh dari Si Mbah.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya di bulan haji tahun 2019, Mbah Moen tiba-tiba ingin tindak haji dan yang akan mengantarkannya adalah Hayat Makki.
Beliau menyuruh putranya, Gus Ghofur. "Telponke Makki, kon neng Sarang. Mbatiri aku haji," Dawuh simbah singkat.
"Gus, jenengan supados teng Sarang kersane mangke nderekke si Mbah tindak haji, saged mboten?," suara Gus Ghofur dari HP.
"Tenanan Gus? Ampun ngarang lah," jawab Gus Hayat.
Di situ ada Gus Majid Kamil. Dan Gus Hayat pun menanyakan apa benar kabar itu. Gus Majid pun menjawab benar.
Ternyata juga si Mbah ada di situ dan langsung ngendiko. "Makki, iki aku loh sing ngomong...!," suara khas Si Mbah terdengar di HP Gus Hayat yang langsung dijawab. "Sendiko dawuh Mbah."
Hari itu juga Gus Hayat langsung meluncur ke Sarang. Setelah bertemu, si Mbah dawuh. "Makki, kowe mbatiri aku haji yo? Wis duwe pasport?"
"Sampun gadah Mbah."
Sejurus kemudian si Mbah berkata.
"Visaku durung dadi. Urusi yoh, kowe durung duwe pisan toh. Tek kei wektu rong dino," lanjut Mbah Moen yang hanya dijawab. "Siap Mbah" oleh Hayat Makki.
Kemudian Mbah Moen mengajak Gus Hayat masuk ke dalam kamar pribadinya. Dan di atas dipan tempat tidurnya ada rak yang berisi sebuah koper. Lumayan besar. Dan si Mbah menyuruh dia mengambilnya.
Setelah bertanya "Ibu Nyai nang ndi?" yang dijawab "Teng ruang wingking Mbah" oleh Gus Hayat, koper itu lantas dibuka. Berisi lembaran uang yang banyak sekali.
"Cepat bawa pergi koper ini," pinta Si Mbah.
Setelah itu Gus Hayat pamitan. Koper uang itu dititipkan ke santri untuk sementara disimpan di rumah Gus Hayat di Bawang, Banjarnegara, karena saat itu juga harus segera pergi ke Jakarta untuk keperluan mengurus visa yang diberi deadline hanya 2 hari. Waktu yang terbilang mustahil untuk mengurus visa haji yang biasanya memakan waktu cukup lama itu.
Sesampainya di Jakarta dia langsung menuju masjid Istiqlal, dini hari. Dia mujahadah munajat minta pertolongan Allah agar memudahkan mengurus visa.
Sempat dimarahin oleh petugas Masjid Istiqlal karena memang waktunya sudah dini hari menjelang subuh.
Pagi hari saat Shalat Subuh, tak disangka Gus Hayat bertemu dengan Jenderal Budi Gunawan, Kepala BIN yang kebetulan pagi itu ke Masjid Istiqlal dan bertanya pada Gus Hayat.
"Ada keperluan apa pagi pagi sudah di sini Mas Hayat?" Tanya sang Jenderal.
"Begini Pak, saya sedang ada tugas dari Mbah Maimoen Zubair untuk membuat visa haji. Apakah bapak bisa mengantarkan saya ke Pak Presiden?"
"Oke siap. Mari saya antarkan," jawab Sang Jenderal.
Kemudian mereka berdua menuju istana negara. Kebetulan Gus Hayat sudah mengenal baik Pak Jokowi sewaktu masih menjabat Wali Kota Solo, karena Gus Hayat pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah.
"Pak Presiden. Mohon ijin saya sedang ada tugas dari Mbah Maimoen. Beliau akan tindak haji tahun ini, sedang membutuhkan visa haji."
"Baiklah Mas Hayat. Nanti saya akan kondisikan secepatnya. Untuk Imigrasi, Kemenag dan Kemenlu segera saya kumpulkan hari ini."
"Nanti juga saya siapkan pesawat khusus, bisa dari Garuda atau maskapai yang lain." Sambung Pak Presiden.
"Enggih Pak, namun Mbah Moen sampun gadah tiket piyambak dan kadose mboten kerso menawi diistimewakan," jawab Gus Hayat sambil sesekali mengucap syukur.
Singkat cerita, visa pun jadi, dengan waktu singkat pula. Kemudian langsung pulang ke Banjarnegara untuk keperluan menyiapkan bekal secukupnya dan membawa serta "koper ajaib" itu.
Sesampainya di Sarang, si Mbah langsung bertanya. "Piye wis oleh visane?"
"Sampun Mbah" jawab Gus Hayat.
"Pinter kowe hek hek hek," tawa khas Mbah Maimoen karena bahagia.
Kemudian berangkatlah si Mbah Maimoen ke tanah suci dengan ditemani Gus Hayat.
Sesampainya di Mekkah, beliau Thawaf di lantai 2 Masjidil Haram dengan menaiki kursi roda yang didorong oleh Gus Hayat. Setiap kali sampai pojokan Ka'bah yang ada multazamnya beliau bertanya sama Gus Hayat.
"Makki, kowe weruh pora kae loh sing nang nduwure Multazam?"
Gus Hayat pun menjawab sekenanya. "Namung sorot lampu, Mbah."
"Makii...Makkii... kowe ora paham toh.. Kae Malakul Maut lagi nungguni aku, kawit mau ndelengke aku wae..."
Gus Hayat setengah tidak percaya dan menganggap itu hanya guyonan si Mbah saja.
Sampai kemudian si Mbah sering bertanya. "Saiki dino opo? Kapan dino seloso?"
Pertanyaan tentang hari Selasa itu hampir setiap hari ditanyakan si Mbah. Sampai kemudian Gus Hayat berinisiatif dan matur ke si Mbah.
"Ngaten mawon Mbah. Menawi pon dugi hari Senin sonten mangke kulo matur teng jenengan."
"Oh iyo tenan yoh," jawab Si Mbah.
Kemudian setelah beberapa hari di Mekkah si Mbah dawuh lagi untuk mengambilkan koper yang kemarin berisi uang itu.
"Makki...ini dibuka kopernya!" Perintah si Mbah.
"Bagikan semua isinya kepada orang-orang," lanjut beliau.
Kemudian koper itu dibuka oleh Gus Hayat. Isinya duit semua. Masih baru. Yang mata uang asing; Poundsterling, Euro, Dollar Amerika, Dollar Singapura, Riyal, Ringgit dan beberapa lembar ratusan ribu rupiah. Jumlah keseluruhannya sekitar Rp 3,5 miliar.
Gus Hayat bergegas menuju pelataran Masjidil Haram, dan membagikan uang-uang tersebut pada orang-orang yang berlalu lalang menuju ataupun keluar dari masjid.
Aksinya itu diketahui oleh askar, polisi kerajaan Arab Saudi. Ia hampir saja ditangkap, tapi dengan Bahasa Arab, Gus Hayat menjelaskan bahwa aksi bagi bagi uang ini adalah perintah langsung Syaikh Maimoen Zubair, ulama besar Indonesia.
Mendengar nama Syaikh Maimoen, ajaibnya si askar tadi malah tersenyum dan malah mempersilahkan untuk meneruskan bagi-bagi BLT (Bantuan Langsung Tunai) itu.
Setelah hampir habis, Gus Hayat berinisiatif untuk menyisakan segepok Dollar Amerika. Tidak dihabiskan semua dan segera kembali ke hotel tempat si Mbah menginap.
"Wis kowe bagi kabeh duite Maki?" Tanya si Mbah.
"Sampun Mbah, tapi kulo nyisihkan sekedik niki."
Gus Hayat menunjukkan uang dollar tersebut dari kantong bajunya. "Wah..pinter kowe...hek hek hek," Sahut siMbah dengan tawa khasnya.
"Kebeneran Makki...aku dipeseni Megawati kon tukokno tasbih warna merah karo duit kuwi nggo tuku klambi awakmu lan oleh-oleh kanggo Bu Nyai yoh..." lanjut Mbah Maimoen.
"Sendiko dawuh Mbah," jawab Gus Hayat yang kemudian menghitung uang sisa bagi bagi tersebut. Ternyata segepok uang dollar Amerika itu jika dirupiahkan lumayan banyak. Seratus juta rupiah.
Waktupun berjalan. Sampai ketika Senin sore ba'da Ashar tanggal 5 Agustus 2019, si Mbah tiba-tiba memanggil Gus Hayat.
"Makki...aku ganteng pora?" Sambil sesekali bercermin di kaca.
"Saestu ganteng Mbah. Umpami wonten 1.000 widodari, mangke ingkang 999 naksir lan tresno panjenengan, Mbah."
"Hek hek hek...oh koyo ngono yoh," jawab SiMbah.
"Lah terus widodari sing siji nang ndi?" Lanjut si Mbah.
"Kagem kulo, Mbah" jawab Gus Hayat dan langsung disambut tawa khas si Mbah. "Hek hek hek..pinter kowe Maki..."
Kemudian si Mbah minta dipijetin sampai berpesan dan bertanya, "Iki dino opo?"
"Senin Mbah," jawab Gus Hayat yang mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Perasaan tidak ingin kehilangan dan tak ingin jauh-jauh dar si Mbah.
"Kowe nang kene wae yoh," pesan si Mbah.
"Nggih, Mbah," jawab Gus Hayat, sambil menahan haru. Benar saja, menjelang dini hari sekitar pukul 03.00 si Mbah bangun yang ternyata Gus Hayat masih ketiduran di samping tempat tidur si Mbah masih dalam posisi orang memijat kaki beliau.
Si Mbah terbangun sepagi itu, dan meminta Gus Hayat untuk menyandarkan tubuhnya di atas kursi. Tenang sekali raut wajahnya. Sambil melantunkan Qosidah kesukaan beliau. Sanjungan terhadap Siti Khadijah.
"Sa'duna fiddunya Wafuzna fil Ukhro.. bi Khadijatal Kubro wa Fathimatazzahro..."
Kemudian sesekali melafadzkan dzikir Allah...Allah...dengan suara yang mulai pelan. Namun Gus Hayat melihat si Mbah mulai lemas dan berinisiatif untuk segera membawanya ke rumah sakit.
Setelah sampai di rumah sakit, tak berselang lama KH. Maimun Zubair dinyatakan meninggal pada hari Selasa 5 Dzulhijjah 1440 H / 6 Agustus 2019 pukul 04.17 waktu setempat.
Inna lillahi wa inna ilaihi Roji'un.
Indonesia bahkan dunia Islam berduka. Suasana pagi itu mendung. Hujan rintik-rintik. Mendung lagi. Seakan para penghuni langit pun ikut berduka.
Jenazah si Mbah pertama kalinya dishalatkan di Kantor Daker Makkah. Tempat shalat jenazah di Lantai I Kantor PPIH tersebut. Setelah dirawat beberapa saat di Rumah Sakit Al-Noer, Makkah.
Setelah dishalatkan di Kantor Urusan Haji Indonesia Makkah, sebelum dibawa ke Masjidil Haram, sebelum zhuhur, dishalatkan lagi setelah shalat zhuhur.
Jenazah beliau ditutupi dengan kain hijau bertuliskan lafadz istirja'. Inna Lillahi Wa Inna ilaihi Roji'un. Khas Indonesia.
Namun sesampainya di Masjidil Haram kelambu diganti dengan warna hitam. Lambang penghormatan, biasanya dipakai untuk para raja.
Imam Masjidil Haram memerintahkan untuk menempatkan jenazah Mbah Maimoen tepat di depan Ka'bah. Tidak seperti jenazah yang lain yang memang ditempatkan di ruangan khusus tempat jenazah biasa disholatkan di masjid terbesar sejagad tersebut.
Si Mbah dimuliakan di Masjidil Haram ketika dishalatkan. Di depan ka'bah.
Setelah ribuan bahkan jutaan orang menshalati karena memang musim haji banyak sekali orang di Mekkah. Jenazah dibawa ke pemakaman Jannatul Ma'la, tempat pemakaman tertua di kota Mekkah yang di situ di makamkan jazad mulia Sayyidah Khadijah al-Kubro, istri tercinta Baginda Nabi SAW. Beberapa ulama besar juga dimakamkan di situ.
Banyak sekali yang mendo'akan, Dubes RI untuk Saudi, para jama'ah haji Indonesia maupun belahan dunia manapun yang sempat mengenal bahkan hanya mendengar namanya, para ulama, para Habaib.
Bahkan HRS ikut mendo'akan di atas makam beliau setelah sebelumnya sempat salah tempat menempati sebuah makam di samping makam si Mbah, karena kelambu hitam yang untuk menutup jenazah si Mbah, dibawa kabur oleh jama'ah haji asal Afrika. Mungkin untuk tabarrukan. Ngalap berkah.
Begitulah Si Mbah Maimoen Zubair. Kewaliannya tersingkap setelah beliau wafat. Terbukti dengan begitu dimuliakannya beliau mulai dari proses rumah sakit, sholat jenazah di Masjidil Haram hingga pemakaman, dido'akan para ulama dan habaib dari seluruh dunia.
Menyatukan hati beberapa kubu yang sebelumnya mungkin beda pendapat dan sempat "berseberangan".
Merukunkan umat. Bahkan setelah jazad beliau dimakamkan di Jannatul Ma'la, perizinan masuk ke area makam yang semula sangat ketat, sekarang dilonggarkan, malah cenderung diizinkan. Padahal, kita tahu sendiri, Arab Saudi tidak begitu familiar dengan orang yang ziarah kubur.
"Indunisiy, Syaikh Maimoen Zubair," bicara seperti itu ketika di depan pemakaman Jannatul Ma'la, maka petugas jagapun membiarkan masuk.
Bahkan sekarang, konon sudah tidak ada penjagaan. Barokah Mbah Maimoen, ziarah kubur mulai ramai di sekitar pemakaman tertua di Kota Makkah itu.
Suatu hari beliau pernah dawuh dengan bahasa kesehariannya, Bahasa Jawa.
"Sinten mawon ingkang apal sekabehane Fuqohaus Sab'ah, mongko gampang olehe ke-'Futuh', alias kebuka' atine."
Barangsiapa yang hafal nama-nama tujuh orang pakar fiqih, maka dia dimudahkan terbuka hatinya.
Mereka adalah ahli fikih dari kalangan tabi'in yang kala itu hidup di kota Nabi, Madinah, dan menjadi rujukan persoalan-persoalan fikih pada masanya.
Ibnu Katsir di Kitab Al-Bidayah Wan-Nihayah-nya: 9/135, mengutip perkataan seorang pujangga :
الا كل من لا يقتدى بأئمة
فقسمته ضيزى عن الحق خارجة
فخذ هم عبيد الله عروة قاسم
سعيد أبو بكر سليمان خــارجــة
"Yang tidak mengikuti (tujuh) orang imam, nasibnya akan melenceng dari kebenaran.
Mereka adalah Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas'ud,Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam Al-asady, Al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar Shiddiq, Sa'id bin Al-Musayyib bin Hazn Al-Qurasyi Al-Makhzumy.
Kemudian Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam Al-Qurasyi, Sulaiman bin Yasar, saudara kandung Atha' bin Yasar, dan Kharijah bin Zaid bin Tsabit Al-Anshori. (*)
* KH. Abdul Wasik Hannan, Rois PCNU Kota Kraksaan